Nutrisi Harian yang Tepat Bisa Membantu Mengurangi Rasa Lelah Berlebihan

Pernahkah Anda duduk sejenak di sore hari, menyeruput secangkir teh hangat, dan merasakan tubuh yang seolah menolak untuk bergerak lebih jauh? Lelah bukan sekadar fisik; ia merambat ke pikiran, membuat ide terasa lambat bergerak, dan bahkan senyum sederhana terasa berat. Sering kali, kita mengaitkan kelelahan ini dengan rutinitas yang padat atau kurang tidur. Namun, jika kita menoleh sejenak ke piring makan kita, mungkin ada jawaban lain yang lebih halus, namun sama pentingnya: nutrisi harian.

Tubuh manusia, pada hakikatnya, adalah laboratorium kompleks yang bekerja terus-menerus, bahkan ketika kita tidur. Energi yang kita rasakan setiap hari berasal dari molekul-molekul makanan yang dipecah menjadi bentuk yang dapat digunakan oleh sel. Namun, proses ini bukan sekadar mekanis; ia bersifat dinamis dan sensitif terhadap keseimbangan gizi. Jika asupan harian kita timpang—misalnya terlalu banyak karbohidrat sederhana dan sedikit protein atau serat—energi yang dilepaskan tubuh seringkali tidak stabil. Hasilnya, rasa lelah yang muncul terasa lebih berat daripada jumlah aktivitas yang kita lakukan.

Saya teringat suatu pagi ketika jadwal saya padat tanpa henti. Di meja kerja, kopi dan roti manis menjadi teman setia. Hingga tengah hari, tubuh terasa lesu, kepala berat, dan fokus melayang-layang. Dalam momen itu, saya sadar bahwa bukan hanya kurang tidur yang membuat saya lelah, tetapi juga pola makan yang tidak seimbang. Sederhana, namun sering diabaikan. Kejadian sehari-hari seperti ini, jika dikaji lebih jauh, sebenarnya merupakan cermin kecil dari hubungan kita dengan nutrisi: kita makan, tetapi jarang menyadari bagaimana makanan itu memengaruhi energi, mood, dan produktivitas.

Dari perspektif ilmiah, tubuh membutuhkan makronutrien—karbohidrat, protein, dan lemak—dalam proporsi yang tepat, serta mikronutrien seperti vitamin dan mineral, untuk menjaga fungsi fisiologis. Karbohidrat kompleks dari biji-bijian utuh, misalnya, melepaskan glukosa secara perlahan, menjaga kestabilan energi. Protein, baik dari hewan maupun nabati, membantu regenerasi sel dan menjaga keseimbangan hormon yang memengaruhi rasa lelah. Sementara lemak sehat, seperti omega-3, berperan dalam fungsi otak dan anti-inflamasi. Kekurangan salah satu elemen ini bisa membuat tubuh seakan “terjebak” dalam mode lelah, meskipun terlihat cukup makan atau tidur.

Bukan hanya soal jenis makanan, tetapi juga ritme makan. Saat kita melewatkan sarapan atau menunda makan siang hingga perut terasa sangat lapar, tubuh merespons dengan stres ringan. Kortisol meningkat, gula darah berfluktuasi, dan rasa lelah datang lebih cepat. Observasi sederhana di kantor menunjukkan banyak rekan yang menggantungkan energi pada kopi, padahal kopi hanyalah stimulan sementara, bukan sumber energi sejati. Di sinilah pentingnya menyadari bahwa nutrisi bukan sekadar mengisi perut, tetapi mengatur energi yang tersedia sepanjang hari.

Ada hal menarik ketika kita melihat kebiasaan makan melalui lensa naratif. Bayangkan seorang ibu yang menyiapkan sarapan bergizi untuk keluarganya, atau seorang mahasiswa yang menata bekal sendiri sebelum berangkat kuliah. Dalam cerita sehari-hari itu, terlihat bagaimana nutrisi tidak hanya soal biokimia, tetapi juga soal ritual, perhatian, dan pengaturan diri. Lelah yang muncul pada sore hari seringkali bisa ditangkal dengan “ritual kecil” ini: sarapan dengan protein dan serat, makan siang seimbang, dan camilan sehat ketika tubuh mulai memberi sinyal lelah.

Namun, tidak bisa dipungkiri, ada faktor psikologis yang berperan. Kita hidup di dunia yang menuntut multitasking, di mana kelelahan mental dan emosional kerap bercampur dengan kelelahan fisik. Nutrisi yang tepat bisa menjadi salah satu bentuk self-care yang tangible—tindakan sederhana namun berdampak nyata. Mengonsumsi sayur dan buah yang kaya antioksidan, misalnya, dapat membantu mengurangi peradangan ringan yang sering menyebabkan tubuh terasa lesu. Begitu pula dengan hidrasi yang cukup, yang sering kali diabaikan, namun sangat berpengaruh pada tingkat konsentrasi dan kecepatan pemulihan energi.

Sebuah perspektif analitis juga menekankan pentingnya kualitas, bukan hanya kuantitas makanan. Tidak jarang orang merasa makan sudah cukup banyak, namun energi tetap turun drastis. Di sini, kualitas bahan makanan—segar, minim olahan, rendah gula tambahan—memainkan peran krusial. Pola makan yang memperhatikan keberagaman nutrisi membantu tubuh bekerja lebih efisien, sehingga rasa lelah yang muncul bukan akibat kekurangan energi, melainkan akibat akumulasi stres, aktivitas, atau tidur yang kurang optimal.

Dalam perjalanan refleksi pribadi, saya mulai menyadari bahwa hubungan kita dengan makanan sering kali bersifat simbolik. Kita makan cepat karena waktu terbatas, memilih camilan instan karena praktis, atau menunda makan karena terlalu fokus pada pekerjaan. Padahal, tubuh kita adalah pengingat yang terus-menerus: energi yang stabil memerlukan asupan yang konsisten dan seimbang. Perlahan-lahan, saya mencoba mengubah ritme ini, lebih memperhatikan porsi protein, serat, dan hidrasi sepanjang hari. Hasilnya bukan keajaiban instan, tetapi ada perbedaan nyata dalam cara tubuh merespons tekanan sehari-hari.

Dalam kontemplasi yang lebih luas, nutrisi bukan sekadar strategi mengurangi rasa lelah. Ia membuka sudut pandang baru tentang bagaimana kita memperlakukan tubuh dan pikiran. Energi yang stabil memungkinkan kita menjalani hari dengan lebih sadar, meresapi momen-momen kecil, dan bahkan menata pikiran untuk refleksi lebih mendalam. Dengan kata lain, nutrisi adalah bagian dari seni menjaga keseimbangan hidup, di antara tuntutan dunia yang terus bergerak cepat dan kebutuhan tubuh yang kadang sederhana namun fundamental.

Akhirnya, ketika sore datang lagi, rasa lelah yang dulu tampak berat kini terasa berbeda. Ada kesadaran bahwa tubuh memerlukan perhatian, dan perhatian itu hadir melalui tindakan kecil: memilih makanan yang tepat, menghargai ritme makan, dan memberi ruang bagi tubuh untuk pulih. Nutrisi harian bukan sekadar soal menunda lapar atau mengisi perut; ia adalah bentuk penghormatan pada diri sendiri, yang dalam jangka panjang mampu mengurangi rasa lelah berlebihan dan membawa kualitas hidup yang lebih stabil.

Mungkin, langkah pertama untuk mengurangi lelah berlebihan bukanlah minum kopi lebih banyak atau tidur lebih lama, melainkan menyadari apa yang kita masukkan ke tubuh setiap hari. Dan dari kesadaran itu, lahir sebuah kebiasaan—tidak sempurna, tapi penuh niat—yang memberi energi tidak hanya pada fisik, tetapi juga pada pikiran dan hati.